Pengertian Penalaran
Untuk memahami pengertian penalaran dalam pembelajaran matematika, ada baiknya anda simak beberapa contoh berikut ini:
1· Jika Andi lebih tinggi dari Bani dan Bani lebih tinggi dari Chandra, maka Andi akan lebih tinggi dari Chandra.
1· Jika Johan berumur 10 tahun dan Amir berumur dua tahun lebih tua, maka Amir berumur 12 tahun.
1· Jika besar dua sudut pada suatu segitiga adalah 600 dan 1000 maka sudut yang ketiga adalah 1800 – (1000 + 600) = 200. Hal ini didasarkan pada teori matematika yang menyatakan bahwa jumlah besar sudut-sudut suatu segitiga adalah 1800.
1· Untuk
menentukan hasil dari 998 + 1236 maka dapat dilakukan dengan cara
mengambil (meminjam) 2 nilai dari 1236 untuk ditambahkan ke 998 sehingga
menjadi 1000. Dengan demikian 998 + 1236 sama nilainya dengan 1000 +
1234 yang bernilai 2234. Jadi, 998 + 1236 = 1000 + 1234 = 2234.
Dari
contoh-contoh yang telah diuraikan di atas, kita dapat menyimak bahwa
suatu kesimpulan dapat ditentukan setelah terjadi proses analisis
terhadap fakta-fakta yang ada yang telah diketahui. Proses pengambilan
kesimpulan berdasarkan fakta-fakta yang ada tersebut dikenal dengan
istilah penalaran. Istilah penalaran atau reasoning dijelaskan oleh Copi
(1978) sebagai berikut: “Reasoning is a special kind of thinking in which inference takes place, in which conclusions are drawn from premises”.
Dengan demikian jelaslah bahwa penalaran merupakan kegiatan, proses
atau aktivitas berpikir untuk menarik suatu kesimpulan atau membuat
suatu pernyataan baru berdasar pada beberapa pernyataan yang diketahui
benar ataupun yang dianggap benar yang disebut premis. Istilah lain yang
sangat erat dengan istilah penalaran adalah argumen. Giere (1984)
menyatakan: “An argument is a set of statements divided into two parts, the premises and the intended conclusion”
(h.32). Dapatlah disimpulkan sekarang bahwa pernyataan yang menjadi
dasar penarikan suatu kesimpulan inilah yang disebut dengan premis atau
antesedens. Sedang hasilnya, suatu pernyataan baru yang merupakan
kesimpulan disebut dengan konklusi atau konsekuens. Dari dua definisi
tadi akan jelaslah bahwa ada kesamaan antara penalaran dan argumen.
Beda kedua istilah itu menurut Soekardijo (1988) adalah, kalau penalaran
itu aktivitas pikiran yang abstrak maka argumen ialah lambangnya yang
berbentuk bahasa atau bentuk-bentuk lambang lainnya. Bentuk atau bagan
suatu argumen adalah:
(Premis 1)
(Premis 2)
.
.
.
(Premis n)\
Jadi, kesimpulan.
C. Penalaran Induktif dan Deduktif
Penalaran
dalam matematika dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu penalaran
deduktif dan penalaran induktif. Menurut kaidah bahasa Indonesia,
penalaran deduktif berarti penalaran yang bersifat deduksi, yaitu
penalaran atas dasar hal-hal yang bersifat umum kemudian diturunkan ke
hal-hal yang khusus. Sedangkan penalaran induktif, secara bahasa berarti
penalaran yang bersifat induksi, yaitu penalaran atas dasar dari
hal-hal yang bersifat khusus, kemudian disimpulkan menjadi yang bersifat
umum.
Pembelajaran
dan pemahaman konsep dapat diawali secara induktif melalui pengalaman
peristiwa nyata atau intuisi. Proses induktif-deduktif dapat digunakan
untuk mempelajari konsep matematika. Kegiatan dapat dimulai dengan
beberapa contoh atau fakta yang teramati, membuat daftar sifat yang
muncul (sebagai gejala), memperkirakan hasil baru yang diharapkan, yang
kemudian dibuktikan secara deduktif. Dengan demikian, cara belajar
induktif dan deduktif dapat digunakan dan sama-sama berperan penting
dalam mempelajari matematika. Penerapan cara kerja matematika diharapkan
dapat membentuk sikap kritis, kreatif, jujur dan komunikatif pada
siswa.
Proses
induktif-deduktif dapat digunakan untuk mempelajari konsep matematika.
Kita mulai dengan beberapa contoh atau fakta yang teramati. Buatlah
daftar sifat yang muncul (sebagai gejala), kemudian perkirakan hasil
baru yang diharapkan. Kemudian hasil ini kita buktikan secara deduktif.
Misalkan untuk menunjukkan 3 x (-1) = -3, dapat ditunjukkan secara
induktif melalui pengertian pola perkalian. Telah kita ketahui bahwa
pengertian perkalian diartikan sebagai penjumlahan berulang seperti 2 x 3
= 3 + 3 = 6, 2 x 4 = 4 + 4 = 8, dan seterusnya. Sekarang perhatikan
pola perkalian berikut
3 ´ 3 = 9,
3 ´ 2 = 6, 6 diperoleh dari 9 – 3
3 ´ 1 = 3, 3 diperoleh dari 6 – 3
3 ´ 0 = 0, 0 diperoleh dari 3 – 3
3 ´ (-1) = ….
Dari pola tersebut, dapat ditunjukkan bahwa 3 ´
(-1) = -3. Namun demikian, dalam matematika bukti dengan cara seperti
ini belum sah (walaupun cara ini bisa dibenarkan untuk pengajaran
matematika tingkat elementer atau sekolah dasar). Secara deduktif, hal
tersebut dibuktikan dengan menggunakan sifat distributif atau penyebaran
dalam operasi penjumlahan sebagai berikut:
3 ´ 0 = 0 + 0 + 0 = 0, tuliskan 0 sebagai 1 + (– 1),
sehingga 3 ´ [1 + (– 1)] = 3 ´ 1 + 3 ´ (-1) = 3 + 3 ´ (-1) = 0
Jadi, 3 ´ (-1) = 0 – 3 = -3.
Apabila
kita kaji lanjut, matematika merupakan serangkaian sistem simbolis yang
abstrak dan saling berhubungan. Di sini kita menghadapi sesuatu atau
objek yang abstrak (dan disimbolkan) dan sistem simbolis
(prinsip-prinsip operasi dan hukum-hukum). Terdapat 4 jenis objek
(gagasan-gagasan) pada matematika, yaitu :
Fakta,
dipelajari secara roting atau hafalan, misal ‘tiga’ dikaitkan dengan
simbol ‘3’, 2+3=5, 7 x 8 = 56 (fakta yang dapat dideduksi dari
penjumlahan berulang). Tetapi, 2+3=5, dapat pula dideduksi dari teori
himpunan gabungan dangan diagram Venn.
Konsep,
dipelajari dengan membutuhkan pemahaman tertentu, misalnya segitiga
memerlukan pengertian banyak sisi, hubungan antar sisi, dan sebagainya.
Hampir tiap konsep dibangun dari konsep-konsep sebelumnya, kecuali yang
konsep primitif atau paling seperti himpunan dan elemen. Dalam
matematika konsep ‘himpunan’ merupakan istilah yang tidak terdefinisi.
Operasi,
berfungsi untuk melakukan hubungan yang mempunyai arti dari objek
matematika yang satu ke objek yang lain, misalnya pemasangan anggota dua
himpunan, menghitung, mengukur panjang, menambah, mengali, dan
sebagainya.
Prinsip,
pernyataan yang mengkaitkan antara dua atau lebih objek matematika
(fakta, konsep, operasi, ataupun antar prinsip), misalnya teorema,
aksioma, dan lema.
Sedangkan
kebenaran dalam matematika didasarkan atas sistem aksioma yang terdiri
atas empat bagian penting, yaitu: istilah tak terdefinisi, istilah
terdefinisi, aksioma, dan teorema.
Walaupun
matematika menggunakan penalaran induktif, proses kreatif yang terjadi
kadang-kadang menggunakan penalaran induktif, intuisi, bahkan dengan
coba-coba (trial and error). Namun pada akhirnya penemuan dari
proses kreatif tersebut harus diorganisasikan dengan pembuktian secara
deduktif. Teorema-teorema yang diperoleh secara deduktif itu kemudian
dipergunakan untuk menyelesaikan berbagai masalah termasuk
masalah-masalah dalam kehidupan nyata.
D. Kelebihan dan Kelemahan Penalaran Induktif dan Deduktif
Penarikan
kesimpulan pada induksi yang bersifat umum akan menjadi sangat penting,
karena ilmu pengetahuan tidak akan pernah berkembang tanpa adanya
penarikan kesimpulan ataupun pembuatan pernyataan baru yang bersifat
umum. Hal inilah yang menjadi suatu kelebihan dari penalaran induktif
dibandingkan dengan penalaran deduktif. Untuk memperjelas pernyataan di
atas, perhatikan dari beberapa kasus khusus seperti: 5 + 3 = 3 + 5; 6 +
(-2) = (-2) + 6; serta beberapa kasus lainnya akan didapat suatu sifat
umum pada penjumlahan yaitu a + b = b + a, yang kemudian kita
kenal dengan sifat komutatif pada penjumlahan. Pernyataan seperti itu
lalu dianggap bernilai benar dan dikenal dengan aksioma atau postulat.
Dari aksioma atau postulat ini dapat dikembangkan bangunan matematika.
Secara umum dapat kita simpulkan bahwa:
11. Pada
awalnya proses matematisasi yang dilakukan dan dihasilkan para
matematikawan adalah proses induksi atau penalaran induktif. Dimulai
dari kasus-kasus khusus yang kemudian digeneralisasikan sehingga menjadi
pernyataan umum (general).
12. Proses
berikutnya adalah proses formalisasi pengetahuan matamatika dengan
terlebih dahulu menetapkan sifat pangkal (aksioma) dan pengertian
pangkal, yang akan menjadi pondasi pengetahuan matematika berikutnya
yang harus dibuktikan secara deduktif.
Penalaran induktif sering digunakan para ilmuwan (scientist).
Kebanyakan teori-teori dalam bidang sains ditemukan berawal dari proses
penalaran induktif. Namun hasil yang didapat dari proses induksi
kadang-kadang masih berpeluang untuk menjadi salah. Dulu sebelum
lahirnya teori Copernicus tentang matahari sebagai pusat tata surya,
orang telah percaya pada teori sebelumya bahwa bumilah yang merupakan
pusat dari jagat raya itu. Teori yang menyatakan bahwa bumi merupakan
pusat tata surya telah salah adanya, dan digantikan dengan teori baru
bahwa mataharilah yang merupakan pusat tata surya.
Hal
tersebut menjadi salah satu kelemahan dari penalaran induktif
dibandingkan dengan penalaran deduktif. Suatu teori yang bernilai benar
pada suatu saat, dapat saja bernilai salah pada tahun-tahun berikutnya
jika telah ditemukan suatu contoh sangkalan (counter example). Oleh karena itu di dalam matematika, kesimpulan yang diperoleh dari proses penalaran induktif masih disebut dengan dugaan (conjekuture).
Dugaan tersebut lalu akan dikukuhkan menjadi suatu teorema jika sudah
dapat dibuktikan kebenarannya dengan penalaran deduktif.
Dengan demikian sebenarnya antara penalaran induktif dengan penalaran deduktif saling melengkapi satu sama lain.
1E. Implikasi Penalaran dalam Pembelajaran Matematika MI
Sejalan dengan teori pembelajaran terbaru seperti konstruktivisme dan munculnya pendekatan baru seperti RME (Realistic Mathematics Education), PBL (Problem Based Learning), serta CTL (Contextual Teaching & Learning),
maka proses pembelajaran di kelas sudah seharusnya dimulai dari masalah
nyata yang pernah dialami atau dapat dipikirkan para siswa, dilanjutkan
dengan kegiatan bereksplorasi, lalu para siswa akan belajar matematika
secara informal, dan diakhiri dengan belajar matematika secara formal.
Dengan cara seperti itu, para siswa kita tidak hanya dicekoki dengan
teori-teori dan rumus-rumus matematika yang sudah jadi, akan tetapi para
siswa dilatih dan dibiasakan untuk belajar memecahkan masalah selama
proses pembelajaran di kelas sedang berlangsung. Jika pada masa-masa
lalu, ‘masalah’ diberikan setelah teorinya didapatkan para siswa, maka
pada masa sekarang, ‘masalah’ tersebut diberikan sebelum teorinya
didapatkan para siswa. Sebagai guru matematika, pernyataan George Polya
(1973: VII), berikut perlu mendapat perhatian kita, yang menyatakan
bahwa: “Yes, mathematics has two faces; it is the rigorous science of
Euclid but it is also something else. Mathematics presented in the
Euclidean way appears as a systematic, deductive science; but
mathematics in the making appears as an experimental, inductive
science.”
Pendapat
Polya ini telah menunjukkan pengakuan beliau tentang pentingnya
penalaran induktif (induksi) dalam pengembangan matematika. Jika pada
masa lalu, siswa belajar matematika secara deduktif aksiomatis, maka
pada masa kini, dengan munculnya teori-teori belajar seperti belajar
bermakna dari Ausubel (belajar bermakna), teori belajar dari Piaget
serta Vigotsky (kontruktivisme sosial), para siswa dituntun ataupun
difasilitasi untuk belajar sehingga para siswa dapat menemukan kembali (reinvent) atau mengkonstruksi kembali (reconstruct)
pengetahuannya yang dikenal dengan kontekstual learning, matematika
humanistik, ataupun matematika realistik. Proses pembelajaran seperti
ini, pada tahap-tahap awalnya akan lebih menggunakan penalaran induktif
daripada deduktif seperti yang dinyatakan Polya tadi. Mudah-mudahan
dengan proses pembelajaran seperti ini, pada akhirnya akan muncul
penemu-penemu besar dari negara tercinta kita, Indonesia.
Untuk
menuju ke arah itu, pendidikan matematika perlu memberikan penekanan
pada peningkatan kemampuan penalaran siswa, sebagaimana telah disarankan
oleh oleh National of Council of Teacher Mathematics (NCTM) yang
telah dijelaskan oleh Wahyudin (2008: 526) bahwa Standar Penalaran dan
pembuktian untuk siswa pra-TK hingga kelas 12 harus memungkinkan siswa
untuk:
1. Mengenali penalaran dan pembuktian sebagai aspek-aspek mendasar dari matematika
2. Membuat dan menyelidiki dugaan-dugaan matematis
3. Membangun dan mengevaluasi argumen-argumen dan pembuktian matematis
4. Memilih dan menggunakan beraneka ragam penalaran dan metode-metode pembuktian.
F. Kesimpulan
1. Penalaran
merupakan kegiatan, proses atau aktivitas berpikir untuk menarik suatu
kesimpulan atau membuat suatu pernyataan baru berdasar pada beberapa
pernyataan yang diketahui benar ataupun yang dianggap benar yang disebut
premis.
2. Penalaran
induktif adalah proses penalaran untuk menarik kesimpulan atau proses
berfikir yang menghubung-hubungka fakta-fakta atau evidensi-evidensi
yang bersifat khusus yang sudah diketahui menuju kesimpulan yang
bersifat umum (general).
3. Penalaran deduktif adalah proses penalaran atau proses berfikir dari hal-hal yang bersifat umum (general) yang kemudian dibuktikan kebenarannya dengan menggunakan fakta-fakta atau evidensi-evidensi yang bersifat khusus.
4. Proses penalaran induktif dan deduktif dapat digunakan dan sama-sama berperan penting dalam mempelajari matematika.
5. Kelebihan
penalaran induktif dibandingkan dengan penalaran deduktif adalah
penalaran induktif sangat berperan dalam perkembangan matematika.
Sedangkan kelemahan penalaran induktif adalah hasil dari penalaran ini
tidak kukuh, ketika ditemukan kesalahan atau kelemahan hasil penalaran
itu akan gugur oleh hasil penalaran lain yang yang diakui lebih benar.
Namun penalaran induktif dengan penalaran deduktif saling melengkapi
satu sama lain.
6. Pembelajaran
dan pemahaman konsep dapat diawali secara induktif melalui pengalaman
peristiwa nyata atau intuisi. Proses induktif-deduktif yang digunakan
untuk mempelajari konsep matematika kegiatannya dapat dimulai dengan
beberapa contoh atau fakta yang teramati, membuat daftar sifat yang
muncul (sebagai gejala), memperkirakan hasil baru yang diharapkan, yang
kemudian dibuktikan secara deduktif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar