Senin, 31 Oktober 2016

PENALARAN MATEMATIKA

Pengertian Penalaran

Untuk memahami pengertian penalaran dalam pembelajaran matematika, ada baiknya anda simak beberapa contoh berikut ini:
1·         Jika Andi lebih tinggi dari Bani dan Bani lebih tinggi dari Chandra, maka Andi akan lebih tinggi dari Chandra.
1·         Jika Johan berumur 10 tahun dan Amir berumur dua tahun lebih tua, maka Amir berumur 12 tahun.
1·         Jika besar dua sudut pada suatu segitiga adalah 600 dan 1000 maka sudut yang ketiga adalah 1800 – (1000 + 600) = 200. Hal ini didasarkan pada teori matematika yang menyatakan bahwa jumlah besar sudut-sudut suatu segitiga adalah 1800.
1·         Untuk menentukan hasil dari 998 + 1236 maka dapat dilakukan dengan cara mengambil (meminjam) 2 nilai dari 1236 untuk ditambahkan ke 998 sehingga menjadi 1000. Dengan demikian 998 + 1236 sama nilainya dengan 1000 + 1234 yang bernilai 2234. Jadi, 998 + 1236 = 1000 + 1234 = 2234.
Dari contoh-contoh yang telah diuraikan di atas, kita dapat menyimak bahwa suatu kesimpulan dapat ditentukan setelah terjadi proses analisis terhadap fakta-fakta yang ada yang telah diketahui. Proses pengambilan kesimpulan berdasarkan fakta-fakta yang ada tersebut dikenal dengan istilah penalaran. Istilah penalaran atau reasoning dijelaskan oleh Copi (1978) sebagai berikut: “Reasoning is a special kind of thinking in which inference takes place, in which conclusions are drawn from premises”. Dengan demikian jelaslah bahwa penalaran merupakan kegiatan, proses atau aktivitas berpikir untuk menarik suatu kesimpulan atau membuat suatu pernyataan baru berdasar pada beberapa pernyataan yang diketahui benar ataupun yang dianggap benar yang disebut premis. Istilah lain yang sangat erat dengan istilah penalaran adalah argumen. Giere (1984) menyatakan: “An argument is a set of statements divided into two parts, the premises and the intended conclusion” (h.32). Dapatlah disimpulkan sekarang bahwa pernyataan yang menjadi dasar penarikan suatu kesimpulan inilah yang disebut dengan premis atau antesedens. Sedang hasilnya, suatu pernyataan baru yang merupakan kesimpulan disebut dengan konklusi atau konsekuens. Dari dua definisi tadi akan  jelaslah bahwa ada kesamaan antara penalaran dan argumen. Beda kedua istilah itu menurut Soekardijo (1988) adalah, kalau penalaran itu aktivitas pikiran yang abstrak maka argumen ialah lambangnya yang berbentuk bahasa atau bentuk-bentuk lambang lainnya. Bentuk atau bagan suatu argumen adalah:
(Premis 1)
(Premis 2)
.
.
.
(Premis n)\
Jadi, kesimpulan.

C.    Penalaran Induktif dan Deduktif

Penalaran dalam matematika dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu penalaran deduktif dan penalaran induktif. Menurut kaidah bahasa Indonesia, penalaran deduktif berarti penalaran yang bersifat deduksi, yaitu penalaran atas dasar hal-hal yang bersifat umum kemudian diturunkan ke hal-hal yang khusus. Sedangkan penalaran induktif, secara bahasa berarti penalaran yang bersifat induksi, yaitu penalaran atas dasar dari hal-hal yang bersifat khusus, kemudian disimpulkan menjadi yang bersifat umum.
Pembelajaran dan pemahaman konsep dapat diawali secara induktif melalui pengalaman peristiwa nyata atau intuisi. Proses induktif-deduktif dapat digunakan untuk mempelajari konsep matematika. Kegiatan dapat dimulai dengan beberapa contoh atau fakta yang teramati, membuat daftar sifat yang muncul (sebagai gejala), memperkirakan hasil baru yang diharapkan, yang kemudian dibuktikan secara deduktif. Dengan demikian, cara belajar induktif dan deduktif dapat digunakan dan sama-sama berperan penting dalam mempelajari matematika. Penerapan cara kerja matematika diharapkan dapat membentuk sikap kritis, kreatif, jujur dan komunikatif pada siswa.
Proses induktif-deduktif dapat digunakan untuk mempelajari konsep matematika. Kita mulai dengan beberapa contoh atau fakta yang teramati. Buatlah daftar sifat yang muncul (sebagai gejala), kemudian perkirakan hasil baru yang diharapkan. Kemudian hasil ini kita buktikan secara deduktif. Misalkan untuk menunjukkan 3 x     (-1) = -3, dapat ditunjukkan secara induktif melalui pengertian pola perkalian. Telah kita ketahui bahwa pengertian perkalian diartikan sebagai penjumlahan berulang seperti 2 x 3 = 3 + 3 = 6, 2 x 4 = 4 + 4 = 8, dan seterusnya. Sekarang perhatikan pola perkalian berikut
3 ´ 3 = 9,
3 ´ 2 = 6, 6 diperoleh dari 9 – 3
3 ´ 1 = 3, 3 diperoleh dari 6 – 3
3 ´ 0 = 0, 0 diperoleh dari 3 – 3
3 ´ (-1) = ….
Dari pola tersebut, dapat ditunjukkan bahwa 3 ´ (-1) = -3. Namun demikian, dalam matematika bukti dengan cara seperti ini belum sah (walaupun cara ini bisa dibenarkan untuk pengajaran matematika tingkat elementer atau sekolah dasar). Secara deduktif, hal tersebut dibuktikan dengan menggunakan sifat distributif atau penyebaran dalam operasi penjumlahan sebagai berikut:
3 ´ 0 = 0 + 0 + 0 = 0, tuliskan 0 sebagai 1 + (– 1),
sehingga 3 ´ [1 + (– 1)] = 3 ´ 1 + 3 ´ (-1) = 3 + 3 ´ (-1) = 0
Jadi, 3 ´ (-1) = 0 – 3 = -3.
Apabila kita kaji lanjut, matematika merupakan serangkaian sistem simbolis yang abstrak dan saling berhubungan. Di sini kita menghadapi sesuatu atau objek yang abstrak (dan disimbolkan) dan sistem simbolis (prinsip-prinsip operasi dan hukum-hukum). Terdapat 4 jenis objek (gagasan-gagasan) pada matematika, yaitu :
Fakta, dipelajari secara roting atau hafalan, misal ‘tiga’ dikaitkan dengan simbol ‘3’, 2+3=5, 7 x 8 = 56 (fakta yang dapat dideduksi dari penjumlahan berulang). Tetapi, 2+3=5, dapat pula dideduksi dari teori himpunan gabungan dangan diagram Venn.
Konsep, dipelajari dengan membutuhkan pemahaman tertentu, misalnya segitiga memerlukan pengertian banyak sisi, hubungan antar sisi, dan sebagainya. Hampir tiap konsep dibangun dari konsep-konsep sebelumnya, kecuali yang konsep primitif atau paling seperti himpunan dan elemen. Dalam matematika konsep ‘himpunan’ merupakan istilah yang tidak terdefinisi.
Operasi, berfungsi untuk melakukan hubungan yang mempunyai arti dari objek matematika yang satu ke objek yang lain, misalnya pemasangan anggota dua himpunan, menghitung, mengukur panjang, menambah, mengali, dan sebagainya.
Prinsip, pernyataan yang mengkaitkan antara dua atau lebih objek matematika (fakta, konsep, operasi, ataupun antar prinsip), misalnya teorema, aksioma, dan lema.
Sedangkan kebenaran dalam matematika didasarkan atas sistem aksioma yang terdiri atas empat bagian penting, yaitu: istilah tak terdefinisi, istilah terdefinisi, aksioma, dan teorema.
Walaupun matematika menggunakan penalaran induktif, proses kreatif yang terjadi kadang-kadang menggunakan penalaran induktif, intuisi, bahkan dengan coba-coba (trial and error). Namun pada akhirnya penemuan dari proses kreatif tersebut harus diorganisasikan dengan pembuktian secara deduktif. Teorema-teorema yang diperoleh secara deduktif itu kemudian dipergunakan untuk menyelesaikan berbagai masalah termasuk masalah-masalah dalam kehidupan nyata.

D.    Kelebihan dan Kelemahan Penalaran Induktif dan Deduktif

Penarikan kesimpulan pada induksi yang bersifat umum akan menjadi sangat penting, karena ilmu pengetahuan tidak akan pernah berkembang tanpa adanya penarikan kesimpulan ataupun pembuatan pernyataan baru yang bersifat umum. Hal inilah yang menjadi suatu kelebihan dari penalaran induktif dibandingkan dengan penalaran deduktif. Untuk memperjelas pernyataan di atas, perhatikan dari beberapa kasus khusus seperti: 5 + 3 = 3 + 5; 6 + (-2) = (-2) + 6; serta beberapa kasus lainnya akan didapat suatu sifat umum pada penjumlahan yaitu a + b = b + a, yang kemudian kita kenal dengan sifat komutatif pada penjumlahan. Pernyataan seperti itu lalu dianggap bernilai benar dan dikenal dengan aksioma atau postulat. Dari aksioma atau postulat ini dapat dikembangkan bangunan matematika. Secara umum dapat kita simpulkan bahwa:
11.      Pada awalnya proses matematisasi yang dilakukan dan dihasilkan para matematikawan adalah proses induksi atau penalaran induktif. Dimulai dari kasus-kasus khusus yang kemudian digeneralisasikan sehingga menjadi pernyataan umum (general).
12.      Proses berikutnya adalah proses formalisasi pengetahuan matamatika dengan terlebih dahulu menetapkan sifat pangkal (aksioma) dan pengertian pangkal, yang akan menjadi pondasi pengetahuan matematika berikutnya yang harus dibuktikan secara deduktif.
Penalaran induktif sering digunakan para ilmuwan (scientist). Kebanyakan teori-teori dalam bidang sains ditemukan berawal dari proses penalaran induktif. Namun hasil yang didapat dari proses induksi kadang-kadang masih berpeluang untuk menjadi salah. Dulu sebelum lahirnya teori Copernicus tentang matahari sebagai pusat tata surya, orang telah percaya pada teori sebelumya bahwa bumilah yang merupakan pusat dari jagat raya itu. Teori yang menyatakan bahwa bumi merupakan pusat tata surya telah salah adanya, dan digantikan dengan teori baru bahwa mataharilah yang merupakan pusat tata surya.
Hal tersebut menjadi salah satu kelemahan dari penalaran induktif dibandingkan dengan penalaran deduktif. Suatu teori yang bernilai benar pada suatu saat, dapat saja bernilai salah pada tahun-tahun berikutnya jika telah ditemukan suatu contoh sangkalan (counter example). Oleh karena itu di dalam matematika, kesimpulan yang diperoleh dari proses penalaran induktif masih disebut dengan dugaan (conjekuture). Dugaan tersebut lalu akan dikukuhkan menjadi suatu teorema jika sudah dapat dibuktikan kebenarannya dengan penalaran deduktif. 
Dengan demikian sebenarnya antara penalaran induktif dengan penalaran deduktif saling melengkapi satu sama lain.

1E.     Implikasi Penalaran dalam Pembelajaran Matematika MI

Sejalan dengan teori pembelajaran terbaru seperti konstruktivisme dan munculnya pendekatan baru seperti RME (Realistic Mathematics Education), PBL (Problem Based Learning), serta CTL (Contextual Teaching & Learning), maka proses pembelajaran di kelas sudah seharusnya dimulai dari masalah nyata yang pernah dialami atau dapat dipikirkan para siswa, dilanjutkan dengan kegiatan bereksplorasi, lalu para siswa akan belajar matematika secara informal, dan diakhiri dengan belajar matematika secara formal. Dengan cara seperti itu, para siswa kita tidak hanya dicekoki dengan teori-teori dan rumus-rumus matematika yang sudah jadi, akan tetapi para siswa dilatih dan dibiasakan untuk belajar memecahkan masalah selama proses pembelajaran di kelas sedang berlangsung. Jika pada masa-masa lalu, ‘masalah’ diberikan setelah teorinya didapatkan para siswa, maka pada masa sekarang, ‘masalah’ tersebut diberikan sebelum teorinya didapatkan para siswa. Sebagai guru matematika, pernyataan George Polya (1973: VII), berikut perlu mendapat perhatian kita, yang menyatakan bahwa: “Yes, mathematics has two faces; it is the rigorous science of Euclid but it is also something else. Mathematics presented in the Euclidean way appears as a systematic, deductive science; but mathematics in the making appears as an experimental, inductive science.”
Pendapat Polya ini telah menunjukkan pengakuan beliau tentang pentingnya penalaran induktif (induksi) dalam pengembangan matematika. Jika pada masa lalu, siswa belajar matematika secara deduktif aksiomatis, maka pada masa kini, dengan munculnya teori-teori belajar seperti belajar bermakna dari Ausubel (belajar bermakna), teori belajar dari Piaget serta Vigotsky (kontruktivisme sosial), para siswa dituntun ataupun difasilitasi untuk belajar sehingga para siswa dapat menemukan kembali (reinvent) atau mengkonstruksi kembali (reconstruct) pengetahuannya yang dikenal dengan kontekstual learning, matematika humanistik, ataupun matematika realistik. Proses pembelajaran seperti ini, pada tahap-tahap awalnya akan lebih menggunakan penalaran induktif daripada deduktif seperti yang dinyatakan Polya tadi. Mudah-mudahan dengan proses pembelajaran seperti ini, pada akhirnya akan muncul penemu-penemu besar dari negara tercinta kita, Indonesia.
Untuk menuju ke arah itu, pendidikan matematika perlu memberikan penekanan pada peningkatan kemampuan penalaran siswa, sebagaimana telah disarankan oleh oleh National of Council of Teacher Mathematics (NCTM) yang telah dijelaskan oleh Wahyudin (2008: 526) bahwa Standar Penalaran dan pembuktian untuk siswa pra-TK hingga kelas 12 harus memungkinkan siswa untuk:
1.      Mengenali penalaran dan pembuktian sebagai aspek-aspek mendasar dari matematika
2.      Membuat dan menyelidiki dugaan-dugaan matematis
3.      Membangun dan mengevaluasi argumen-argumen dan pembuktian matematis
4.      Memilih dan menggunakan beraneka ragam penalaran dan metode-metode pembuktian.

F.     Kesimpulan

1.      Penalaran merupakan kegiatan, proses atau aktivitas berpikir untuk menarik suatu kesimpulan atau membuat suatu pernyataan baru berdasar pada beberapa pernyataan yang diketahui benar ataupun yang dianggap benar yang disebut premis.
2.      Penalaran induktif adalah proses penalaran untuk menarik kesimpulan atau proses berfikir yang menghubung-hubungka fakta-fakta atau evidensi-evidensi yang bersifat khusus yang  sudah diketahui menuju kesimpulan yang bersifat umum (general).
3.      Penalaran deduktif adalah proses penalaran atau proses berfikir dari hal-hal yang bersifat umum (general) yang kemudian dibuktikan kebenarannya dengan menggunakan fakta-fakta atau evidensi-evidensi yang bersifat khusus.
4.      Proses penalaran induktif dan deduktif dapat digunakan dan sama-sama berperan penting dalam mempelajari matematika.
5.      Kelebihan penalaran induktif dibandingkan dengan penalaran deduktif adalah penalaran induktif sangat berperan dalam perkembangan matematika. Sedangkan kelemahan penalaran induktif adalah hasil dari penalaran ini tidak kukuh, ketika ditemukan kesalahan atau kelemahan hasil penalaran itu akan gugur oleh hasil penalaran lain yang yang diakui lebih benar. Namun penalaran induktif dengan penalaran deduktif saling melengkapi satu sama lain.
6.      Pembelajaran dan pemahaman konsep dapat diawali secara induktif melalui pengalaman peristiwa nyata atau intuisi. Proses induktif-deduktif yang digunakan untuk mempelajari konsep matematika kegiatannya dapat dimulai dengan beberapa contoh atau fakta yang teramati, membuat daftar sifat yang muncul (sebagai gejala), memperkirakan hasil baru yang diharapkan, yang kemudian dibuktikan secara deduktif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar