Minggu, 27 November 2016

Makalah Kasih Sayang, Kewibawaan, dan Tanggung Jawab

Makalah Kasih Sayang, Kewibawaan, dan Tanggung Jawab



BAB I
PENDAHULUAN
   A.    Latar Belakang        
Pendidik merupakan orang dewasa yang membimbing anak agar si anak tersebut bisa menuju ke arah kedewasaan. Peran orang dewasa di dalam proses pembelajaran sangat penting karena tidak mungkin orangyang belum dewasa mendewasakan orang yang belum dewasa. Sosok pendidik begitu besar dalam proses pembelajaran dalam  mendidik, mengajar , membimbing, mengarahan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik, namun selain itu seorang pendidik harus memiliki suatu kasih sayang, kewibawaan dan tanggung jawab terhadap peserta didiknya. 
            Pada prakteknya, ternyata menerapkan kasih sayang, kewibawaan, dan tanggung jawab dalam proses pendidikan tidak mudah, banyak hambatan dan kendala yang dihadapi pendidik, baik berkaitan dengan pemahaman maupun kemampuan pendidik. Untuk itu, kemauan dan ketulusan pendidik dalam menjalankan tugasnya menjadi dasar dalam memahami sifat dan sikap anak didik.
            Kasih sayang, kewibawaan, dan tanggung jawab pendidikan, merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan karena suatu ruh dari pendidikan atau menjadi suatu yang perlu dimiliki oleh seorang pendidik. Tanpa kasih sayang anak akan berkembang menurut kemauan-kemauannya sendiri, karena pendidik sama sekali tidak peduli terhadap perkembangan peserta didiknya. Tanpa kewibawaan, pendidik akan kehilangan kepercayaan dari peserta didiknya. Peserta didik bertindak semaunya tanpa peduli terhadap pendidiknya. Semua upaya pendidik mungkin akan dilecehkan oleh peserta didiknya. Tanpa tanggung jawab dari pendidik, upaya pendidik tidak akan memiliki arah tujuan, karena pendidik akan acuh dalam melaksanakan tugasnya sebagai orang dewasayang harus membawa anak kepada kedewasaan.   Maka dari itu kami dalam malakah ini akan membahas tentang kasih sayang, kewibawaan, dan tanggung jawab pendidikan.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa makna kasih sayang, kewibawaan, dan tanggung jawab?
2.      Bagaimana kasih sayang, kewibawaan, dan tanggung jawab dalam pendidikan?
C.    Tujuan Masalah
1.      Mengetahui kasih sayang, kewibawaan, dan tangung jawab.
2.      Mengetahui bagaimana kasih sayang, kewibawaan, dan tanggung jawab dalam pendidikan.
D.    Manfaat
Makalah ini disusun dengan harapan agar pendidik dan bagi calon pendidik dapat mengetahui makna dan bagaimana kasih sayang, kewibawaan, dan tanggung jawab dalam pendidikan sehingga seorang pendidik dapat menjadi seseorang pendidik yang baik bagi peserta didiknya di dalam proses pendidikan.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Kasih Sayang
            Kasih sayang merupakan fitrah manusia, artinya setiap manusia ditakdirkan oleh Allah memiliki kasih sayang terhadap semuanya. Dalam hal pendidikan, kasih sayang harus mendasari semua upaya dalam membawa anak menuju tujuannya, yaitu kedewasaan.
  1. Makna Kasih Sayang
Sadulloh (2011, hlm. 156) mengemukakan bahwa “kasih sayang merupakan pola hubungan yang unik diantara dua orang manusia atau lebih.” Pola hubungan ini ditandai oleh adanya perasaan sayang, saling mengasihi, saling mencintai, saling memperhatikan dan saling memberi. Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa kasih sayang merupakan kebutuhan asasi manusia, sehingga akan mempengaruhi kehidupanya. Anak-anak yang besar dalam limpahan kasih sayang orang tua akan menjadi anak-anak yang memiliki ketajaman hati nurani. Dengan kasih sayang yang dilimpahkan orang tuanya, anak nantinya akan mampu memperlakukan orang lain dengan penuh kecintaan.
            Kasih sayang adalah kebutuhan alami manusia. Manusia tidak bisa hidup tanpa makanan dan minuman, demikian juga manusia manusia tidak bisa hidup tanpa kasih sayang. Manusia mencintai dirinya sendiri dan ingin di cintai oleh orang lain. Anak-anak lebih membutuhkan kasih sayang dari pada orang dewasa. Kasih sayang merupakan suatu penyerahan diri secara total dari pendidik (orang dewasa) tanpa pamrih kepada anak didik, dengan tujuan untuk mencapai tujuan pendidikan, yaitu kedewasaan. Dengan kasih sayang seorang pendidik menyerahkan seluruh pribadinya demi kepentingan anak didik,tanpa memikirkan pembalasan apa yang diharapkan dari si anak.
            Semua orang tua sayang kepada anak-anaknya, mereka tidak mau anak-anaknya berkarakter buruk. Namun, pada kenyataanya sering terjadi orang tua membiarkan kenakalan anak-anaknya tanpa sedikitpun ditanggapi dengan kesungguhan karena sayang pada anaknya,banyak orang yang tidak memberikan teguran atau peringatan kalau anaknya melakukan kesalahan karena takut anaknya tersinggung.
            Kadang-kadang orang tua melihat anaknya sendiri melakukan kenakalan, atau melakukan perilaku yang menyimpang dari kebiasaan anak-anak, misalnya menganggu anak-anak lain, merusak dan mengotori dinding rumah orang lain, mengeluarkan kata-kata yang dipantas dan bahkan mencuri uang orang lain, namun orang tuanya malah tertawa seperti memberi semangat dan bukan menegur. Orang tuanya seperti itu sebetulnya melakukan penipuan dan pengkhianatan terhadap anak anak mereka. Pengkhianatan itu tidak terasa karena tertutupi kasih sayang semu, pemahaman terhadap makna kasih sayang yang keliru, kasih sayang itu bukan berarti membiarkan kesalahan kesalahan anak.semua orang tua harus menyatakan kasih sayang,tetapi jangan sampai tidak mendidiknya. Orang tua yang membiarkan anaknya melakukan kesalahan, tanpa menegurnya, tanpa mengarahkanya,tanpa melarangnya berarti orang tua orang tersebut tidak memiliki rasa kasih sayang terhadap anaknya, dan orang tua tadi tidak mampu melaksanakan pendidikan bagi anaknya.
            Orang tua tidak boleh berlebihan dalam memberikan kasih sayang kepada anak-anaknya, tetapi harus bisa menempatkan kasih sayang dan mendidik anak pada tempatnya yang tepat. Meskipun semua orang tua sangat menyayangi anak-anak dengan setulusnya, namun mereka juga harus sadar dengan kenyataan yang ada pada anak-anaknya. Jadi anak tidak di bolrh kehilangan kasib sayang orang tuanya akan tapi juga jangan dibiarkan bebas begitu saja. Anak harus menyadari bahwa, karena kasih sayang orang tua ingin mendidik anaknya.
            Guru sebagai pendidik, sikap dan perilaku orang tua dalam memberikan kasih sayang pada anak-anaknya seyogianya di terapkan di sekolah, guru menyayangi anak didiknya harus seperti kedua orang tua menyayangi anaknya. Dalam hal imi sekolah akan menjadi rumah kedua yang dapag memberikan kasih sayang.
            Kasih sayang dapat mempengaruhi kehidupan rohaniyah (mental) maupun jasmaniah (fisik). Secara rohaniah anak dalam hidupan akan penuh keceriaan, kesenangan, dan kebahagiaan. Secara jasmaniah ank-anak yang penuh limpahan kasih sayang orang tuanya, pertumbuhan jasmaniah lebih sehat dari anak-anak yang kurang mendapat kasih sayang. Anak yang besar dalam limpahan kasih sayang orang tua akan menjadi anak-anak yang memiliki kepribadian yang hangat, karena sudah merasakan kebahagiaan kasih sayang dari orang tuanya, maka dia juga akan memperlakukan orang lain dengan penuh kecintaan. Ketika dewasa ia akan belajar mencintai istrinya, anak-anaknya, sahabat dan masyarakat sekitarnya secara maksimal.
            Kasih sayang juga akan menyelamatkan anak-anak dari sifat-sifat kerdil. Anak-anak yang kurang atau tidak mendapatkan kasih sayang orang tuanya akan tumbuh sebagai anak yang merasa terkucilkan. Ia akan membenci orang tua dan orang lain dan besar kemungkinan akan menjadi anak-anak yang suka melakukan hal-hal yang berbahaya.
            Dalam suatu riwayat, Nabi musa as. bertanya kepada Allah SWT.,"amalan apakah yang paling utama?" "kasih sayang kepada anak-anak karena fitrah mereka itu atas tauhid dan kalau aku wafatkan anak-anak tersebut maka akan ku masukan ke surga!"
  1. Kasih Sayang yang Berlebihan dan Hidup Tanpa Kasih Sayang
  1. Kasih sayang yang Berlebihan
            Kasih sayang orang tua memang penting tapi kalau berlebihan maka akan mendatangkan akibat yang tidak diharapkan. Kasih sayang iti seperti air atau makanan, kalau di berikan dengan ukuran yang tepat dan dengan jumlah yang tepat, maka akan memberikan hasil yang optimal,tapi kalau tidak demikian akan berubah menjadi sesuatu yang tidak baik. Kasih sayang yang berlebihan untuk anak-anak sangat merugikan bagi perkembangan anak didik dan mungkin dapat dikatakan sebagai sesuatu pengkhianatan.
            Sebagai orang tua yang baik,mereka harus mempersiapkan sesuatu untuk masa depan anak-anak mereka. Anak harus dididik supaya menjadi manusia yang tangguh pada saat ia telah dewasa. Jangan membiakan mereka menjadi anak yang tidak berdaya, lemah dan selalu mengharapkan uluran tangan orang lain.
            Sadulloh (2011, hlm. 159) menyatakan bahwa kasih sayang yang berlebihan dapat menimbulkan dampak negatif diantaranya:
1)      Akan tumbuh sikap yang selalu ingin diperlakukan secara istimewa. Sifat-sifat seorang otoriter dalam diri anak semakin berkembang ketika orang tua selalu memenuhi segala keinginanan-keinginanya. Benih-benih kediktoratan semakin bersemi di dalam dirinya. Ketika hidup di tengah-tengah masyarakat, ia ingin semua orang memperlakukan dirinya seperti orang tuanya dulu melayano dirinya. Orang seperti itu akan mudah putus asa kalau keinginanya tidak ada yang memperhatikan dan tidak memperoleh simpati dari orang lain.
2)      Anak yang selalu di manja dapat mengalami masalah dalam kehidupan rumah tangganya dikemudian hari, mungkin ia akan meminta dilayani istrinya secara sempurna mungkin yang lebih tidak baik lagi ia suka memperlakukan istrinya seperti pembantu yang harus tunduk pada perintahnya.
3)      Anak yang dibesarkan dalam asuhan kasih sayang berlebihan dapat menjadi anak yang sangat rentan dengan masalah, kehilangan kepercayaan diri, tidak mengambil risiko, tidak mau melakukan pekerjaan-pekerjaan yang penting dan selalau mengharapkn uluran tangan orang lain.
4)      Anak tidak mau mengembangkan diri karena merasa cukup dengan apa yang diterimanya. Orang tuanya telah memenuhi segala keinginannya, pujian dan segalanya menjadi gambaran semu dirinya si anak jadi kehilangan kenyataan tentang dirinya.
5)      Anak yang selalu dimanjakan dengan segala kesenangan dan segala keinginanya selalu dipenuhi oleh orang tuanya, kalau sudah besar mungkin akan tumbuh menjadi manusia yang sombong, suka memaksakan kehendak.
  1. Hidup Tanpa Kasih Sayang
            Husain Mazhahiri dalam buku Sadulloh (2010, hlm.160), mengemukakan bahwa “kecintaan/kasih sayang meninggalkan bekasnya secara positif pada anak, dan menjadikan perilakunya dimasa yang akan datang memiliki sifat kasih sayang dan kecintaan. Sebaliknya, andaikan suatu kecintaan hilang dari rumah tangga, dan rumah tangga menjadi korban dan kebekuan dan kekerasan, maka masa depan anak akan terlempar pada marabahaya,dan kepribadiamya, di masa datang akan memiliki sifat-sifat kekerasan dan emosional yang melampui batas.”
            Selanjutnya menurut mazhahiri, jika seorang anak lelaki, dengan tabiatnya yang keras ia akan kehilangan syarat pertama dari kehidupan dari suami istri yang baik dan berhasil, yang menuntut adanya kecintaan dan kasih sayang yang melimpah. Apabila seorang anak perempuan, maka ia akan kehilangan kelayakan untuk di pimpin oleh suami dan keharmonisan bersamanya serta pendidikan anak-anaknya. Ia akan menampakkan kebencianya kepada masyarakat yang hidup disekitrnya dan memperhatikan ketidakpedulianya terhadap orang lain.
            Jadi anak yang hidup tanpa kasih sayang orang tuanya, pada masa yang akan datang setelah ia dewasa akan menampakkan. Kebencianya terhadap masyarakat sekitarnya, dan menunjukan ketidak pedulianya terhadap orang lain. Ia tidak menunjukan jiwa tolong menolong dan belas kasih sayang terhadap masyarakat sekitarnya, sehingga ia menjadi manusia yang tidak berperasaan.
  1. Kasih Sayang di Sekolah
            Dalam proses pendidikan disekolah dimana peran orang tua digantikan oleh guru, pola hubungan guru-anak perlu dilandasi kasih sayang agar terjalin ikatan perasaan yang dapat mendukung tercapainya tujuan pendidikan. Peranan kasih sayang dalam pendidikan di sekolah merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam pembentukan sikap, kepribadian dan perilaku anak disamping peran keluarga dan masyarakat. Banyak peran yang semestinya dilakukan oleh seorang guru dalam menjalankan proses pendidikan diantaranya:
  1. Guru Sebagai Pembimbing
            Realitas di masyarakat menunjukan bahwa perilaku menyimpang dari anĂ k-anak seperti kebrutalan, kecanduan narkoba, pemurung, apatis dan sebagainya muncul karena dilatar belakangi oleh kondisi dimana anak tumbuh dalam keluarga yang tidak memberikan kepuasan kasih sayang terhadap  dirinya . Hal ini menjadi tantangan pendidikan manakala kehidupan di kota besar dipenuhi oleh kesibukan orang tua dengan berbagai aktifitas pekerjaan.
            Dengan kasih sayang yang diberikan oleh guru, anak akan mendapatkan bimbingan untuk menjalani kehidupan ,baik yang di jalani saat ini maupun bekal di masa yang akan datang. Guru bagi anak sebagai tempat bertanya, mengadu meminta pendapat, berkeluh kesah, curhat berlindungan, dan posisi lainya dalam diri seorang anak didik.
  1. Guru Pembentuk kepribadian
            Pembentukan kepribadian anak disekolah merupakan hal yang tidak mudah, sulit kiranya dilakukan tanpab disertai dengan kasih sayang  guru di sekolah bertanggung jawab membimbing anak didik, menjadi manusia bermoral, berhati nurani, kasih sayang terhadap sesama, dan sebagainya. Guru harus menunjukan sosok pribadi yang utuh, berpribadi stabil tidak emosionalan, penghayatan dan pelaksanaan moral dalam semua aspek kehidupan, sehingga akan menjadi telada bagi anak didiknya.
            Tindakan kriminal seperti mencuri, bunuh diri, atau kejahatan lain bisa dilakukan seorang anak karena kepribadian yang labil, karena kehilangan kasih sayang dari orang tua atau siapa saja. Kata 'siapa saja' mengidentifikasikan disamping orang tua ada pihak lain yang dapat menjadi penyebab hancurnya, kepribadian seorang anak anak. Dalam kehidupan sehari-hari, keterlibatan atau pergaulan anak tidak hanya terjadi dalam keluarha atau masyarakat, tetapi juga di sekolah.
             Di sekolah, guru yang baik akan menperhatikan hal ini sebagian dari perannya dalam menjalankan proses pendidikan. Pembentukan kepribadian anak di sekolah merupakan hal yang tidak mudah, pernah kita dikejutkan oleh pemberitaan media masa, seperti media cetak: koran, majalah, juga media elektronik: radio, televisi, ada anak yang bunuh diri karena ingin menyelamatkan harga diri dan rasa malau yang di alaminya karena tidak dapat membayar uang sekolah.
  1. Guru Sebagai Tempat Perlindungan
            Di sekolah anak akan minta perlindungan kepada gurunya, gurulah yang menjadi perlindungan bagi anak-anak tersebut. Pada kondisi ini, guru semestinya bijaksana, mendengarkan masalah yang dihadapi anak, memberikan nasihat dan sebisa mungkin menyadarkan tindakan yang dilakukan anak atau bahkan berupaya menjebati permasalahan anak dengan orang tuanya.
            Ada anak yang kabur dari rumah akibat tidak menemukan kasih sayang dirumahnya. Dalam tindakan ini anak akan mencari perlindungan kepada siapa saja yang dianggap dekat atau yang dapat memberikan perhatian, beruntung jika mereka mendapat tempat berlindung pada orang yang berlatar belakang baik, misalnya kepada gurunya disekolah. Tetapi apabila anak bertemu dan bergaul dengan pemakan/pengedar narkoba misalnya maka anak akan berakibat merusak masa depannya.
            Menyikapi kasus ini, selayaknya disekolah seorang guru dapat memberikan kasih sayang, maka anak akan merasa diperhatikan dan dilindungi. Pada kondisi ini, guru semestinya berlaku bijaksana, mendengarkan masalah yang dihadapi anak, memberikan  nasihat dan mungkin menyadarkan tindakan yang dilakukan anak atau bahkan berupaya menjembatani permasalahan anak dengan orang tuanya.
  1. Guru Sebagai Figur Teladan
            Kasih sayang harus tergambarkan dalam perilaku ayah-ibu mereka, kasih sayang itu harus terlihat dalam pelukan, senyuman, bahkan dalam nada bicara orang tua mereka. Kasih sayang harus terwujud melalui perilaku secara kongkret atau tidak hanya bicara "saya menyayangi" atau "saya mencintai". Kasih sayang yang terwujud melalui perilaku, di samping secara psikologis akan dirasakan anak, juga perilaku itu akan menjadi contoh atau teladan apalagi anak yang menginjak remaja. Anak remaja memerlukan kasih sayang dengan kadar yang lebih besar dalam bentuk yang kongkret, ia masih hidup dalam lautan kebimbangan dan masa-masa yang sangat kritis.
            Seorang guru yang ramah, hangat dan selalu tersenyum, tidak memperlihatkan muka kusam atau kesal, merespon pembicaraan atau pertanyaan anak didik, akan menumbukan kondisi psikologis yang menyenangkan bagi anak. Anak tidak berbicara, dapat merencanakan isi hatinya saat menghadapi masalah dan anak akan senang melibatkan diri dalam kegiatan disekolah. Perilaku anak didik yang terbentuk ini pada dasarnya merupakan hasil dari mencontoh atau meneladani perilaku yang diperlihatkan pendidik dengan penuh kasih sayang.
  1. Guru Sebagai Sumber Pengetahuan
            Dalam proses pembelajaran dimana terjadi transformasi pengetahuan, sikap memberi dan melarang semestinya dilakukan dengan hati-hati terhadap anak didik. Pengetahuan dapat merubah sikap dan prilaku anak, perubahan dapat positif apabila pengetahuan yang diterima anak sesuai dengan hati-hati terhadap anak didik. Pengetahuan dapat merubah sikap dan perilaku anak sesuai dengan masanya dan sebaliknya apabila tidak sesuai akan membentuk perilaku anak yang negatif. Misalnya, pendidikan seks yang di berikan guru dengan tidak  hati-hati akan berdampak pada perilaku anak yang salah tentang kehidupan seks. Oleh karena itu, seorang guru dalam menyampaikan pengetahuan harus didasari oleh kasih sayang.
            Sadulloh (2011, hlm. 163) Beberapa hal yang mungkin terjadi apabila guru tidak hati-hati dalam menyampakain pengetahuan:
1)      Akan merusak jalinan kasih sayang di antata guru dan anak didil. Anak mulai meragukan dan bahkan mungkin menganggap guru tidak dapat mengajar dengan baik.
2)      Anak akan belajar pada sumber lain yang apabila tidak dibimbing tidak menutup kemungkinan menghasilkan perilaku yang tidak diharapkan.
3)      Kurangnya bimbimngan dari guru sebagai pendidik akan menumbuhkan perilaku yang tidak bertanggung jawab atas perbuatanya.
            Dengan demikian, jelaslah bahwa kasih sayang memegang peranan penting, tidak hanya dilingkungan keluarga,tetapi seharusnya di sekolah, guru sebagai pengganti orang tua menumbuh kembangkan hubungan kasih sayang dengan anak didiknya. Dengan ketulusan dan rasa kasih sayang guru, anak didik akan merasa senang mengikuti proses pendidikan disekolah dan tujuan pendidikan akan  mudah diwujudkan. Di masyarakat, kasih sayang dapat merupakan cerminan kasih sayang yang diperoleh anak akan berguna dan dapat beradaptasi dalam masyarakat dengan baik.
B.     Kewibawaan dalam Pendidikan
            Guru sebagai pendidik harus memiliki kewibaan, baik dalam pembelajaran di  dalam kelas ataupun kegiatan lain di luar kelas. Kewibawawan mempunyai peranan penting dalam usaha menentukan dan merumuskan tujuan hakiki dan arti pendidikan.
1.      Makna Kewibawaaan
Ciri utama pendidik adalah adanya kewibawaan yang terpancar dari dirinya terhadap anak didik. Pendidik harus memiliki kewibawaan (kekuasaan batin mendidik) menghindari penggunaan kekuasaan lahir, yaitu kekuasaan yang semata-mata didasarkan kepada unsur wewenang jabatan. Kewibawaan merupan suatu pancaran batin yang dapat menimbulkan pada pihak lain sikap untuk mengetahui, menerima dan menuruti dengan penuh pengertian atas pengaruh tersebut.
Sadulloh (2011, hlm. 164) mengemukakan bahwa “kewibawaan adalah suatu pengaruh yang diakui kebenaran dan kebesarannya, bukan sesuatu yang memaksa.” Kewibawaan harus berbanding denganketidak berdayaan anak didik, jika pendidik kemampuannya tidak berbeda dengan anak didik, maka kewibawan tersebut sukar ditegakkan. Dengan demikian kewibawaan seorang pendidik akan diakui apabila pendidik mempunyai kelebihan dari anak didiknya baik sikap, pengetahuan maupun keterampilannya.
Kewibawaan hanya dimiliki oleh manusia yang sudah dewasa, suatu kedewasaan rohaniah yang didukung kedewasaan jasmaniah. Kewibawaaan jasmaniah tercapai apabila seseorang telah mencapai puncak perkembangan jasmani yang optimal. Kedewasaan rohaniah tercapai apabila seseorang telah memiliki cita-cita hidup dan pandangan hidup yang tetap. Bagi seorang pendidik melaksanakan  cita-cita dan pandangan hidupnya secara nyata berlangsung melalui statusnya sebagai orang tua maupun sebagai pendidik pengganti orang tua (guru misalnya).
Kewibawaan itu ada pada orang dewasa terutama pada orang tua  (ayah dan ibu) dan itu merupakan kewibawaan asli. Orang tua dengan langsung memberikan tugas dari Allah untuk mendidik anak-anakanya. Orang tua mendapatkan haknya untuk mendidik anak-anaknya, suatu hak yang yang tidak dapat dicabut karena terikat oleh kewibawaan. Hak dan kewajiban yang melekat pada orang tua dalam mendidik anak-anaknya tidak dapat dipisahkan.
Pendidik harus memiliki kewibawaaan di mata anak didik, karena anak didik membutuhkan perlindungan, bantuan, bimbingan dan seterusnya dari pendidik, dan pendidik bersedia untuk memenuhinya.  Pendidik dapat memenuhi kebutuhan anak didik tersebut sepangjang terjadi hubungan harmonis antara keduanya, sehingga selama itu pula terdapat pengakuan akan adanya kewibawaan pendidik oleh anak didik.
Kewibawaan adalah suatau daya mempengaruhi yang terdapat pada seseorang, sehingga orang lain yang berhadapan dengan dia, secara sadar dan suka rela menjadi tunduk dan patuh padanya. Jadi barang siapa yang memiliki kewibawaan, akan dipatuhi secara sadar, dengan tidak terpaksa, dengan tidak merasa diharuskan dari luar, dengan penuh kesadaran, keinsyafan, tunduk, patuh, menuruti semua yang dikehendaki oleh pemiliki kewibawaaan itu.
Anak kecil (sampai usia 3 tahun) belum mengenal kewibawaaan, artinya anak kecil belum dapat tunduk kepada sesuatu pengarauh atas kesadaran dan kerelaan sendiri. Misalnya anak kecil yang menuruti perintah ibunya, bukan karena si kecil tadi sadar atau insaf  akan perlunya menuruti atau mematuhi wibawa dan pengaruh ibunya, tetapi karena terdorong oleh perasaan takut akan muka yang muram dari ibunya atau karena ibunya meninggalkan dirinya sehingga dengan begitu anak melakukan segala perintah ibunya. Pada anak kecil belum ada kesadaran akan kepentingan larangan atau anjuran dari si ibu, tetapi karena pigur atau atau person ibu tersebut.
Pengenalan dan pengakuan terhadap wibawa membutuhkan bahasa, sehingga pengenalan dan pengakuan wibawa itu berjalan sejajar dengan tumbuhnya memahami bahasa pada kanak-kanak. Bahasa merupakan tempat pertemuan anatara pendidik dan anak didik. Dengan bahasa anak didik dapat mengerti apa arti anjuran dan larangan pendidik, sehinga dengan demikian dapatlah dikenal dan diakui berwibawa.
Apabila orang tua tiadak menggunakan kesempatan untuk bertemu dengan anak di dalam bahsasa, artinya bila orang tua tidak pernah memberikan anjuran dan larangan kepda anak, atau kalau orang tua tidak pernah menggunakan wibawa yang ada padanya, maka dapat mengakibatkan anak mempunyai sikap yang tidak dapat didekati, anak akan menjadi asing terhadap kekerasan anak, menjadi tidak dapat lagi dinasehati atau didekati.
Sebaliknya apabila orang tua terlalu banyak menggunakan kesempatan bertemu dengan anak dalam bahasa, terlalu banyak memberi banyak nasehat, anjuran, atau larangan, akan memberi akibat yang dapat merugikan dalam pendidikan. Hal ini dapat menjadikan anak didik bersikap ragu dalam segala hal, tidak dapat menentukan jalan mana yang hendak ditempuhnya. Dan dapat pula membuat anak didik menjadi acuh tak acuh, atau besikap mengelakan diri sebagai pernyataan protes, karena anak merasakan nasihat atau anjuran dan larangan yang berlebihan sebagai suatau tuntutan yang sukar untuk dilaksanakan.
Menghadapi situasi di mana anak didik menunjukan sikap menentang atau protes sebagia suatu pernyataan bahwa anak telah menemukan dirinya, telah mempunyai keinginan, telah mempuyai kemapuan sendiri, seakan-akan orang tua kehilangan kewibawaannya, adalah tidak bijaksana bila berlaku keras terhadap anak didik. Karena dengan sikap keras hanya akan menghancurkan benih-benih kesadaran akan kewibawaan yang mulai mulai tumbuh pada diri anak. 
2.      Awal Penerimaan Kewibawaaan oleh Anak
Apa  yang telah dibicarakan  tadi adalah kewibawaan di dalam hubungannya dengan pendidik. Pembicaraan ini akan lengkap, apabila kita juga berbicara tentang kewibawaan dalam kaitannya dengan anak didik dalam arti kapankah anak bisa menerima kewibawaan pendidik?  Betapapun besarnya kewibawaan pendidik, tidak ada gunanya, bilamana kewibawaan itu sama sekali tidak dihayati oleh anak didiknya. Karena ada kemungkinan anak didik tidak mengakui dan menghayati kewibawaan pendidiknya. Bagi anak kecil yang belum  mengenal bahasa, belum dapat menuruti apapun yang dikemukakan oleh orang tua dengan bahasa.
Kewibawaan itu menentukan bentuk perlakuan yang harus diikuti serta menghalangi atau menolak yang tidak dikehendaki. Seandainya hal terkahir ini hanya dapat dilakukan dengan pembuktian atau atas dasar keterikatan pada pribadi pendidik ataupun dengan paksaan, maka si anak akan tetap tinggal tak terdidik. Sebab itu kewibawaan merupakan syarat mutlak (conditio sine qua non) untuk mendidik.
Dari manakah anak didik mendapatkan keberanian moal untuk mencoba menjalankan dan menuruti kewibawaan? Mereka mendapatkannya dalam rsa kasih sayang yang menjadi pengikat bagi mereka. Dalam kasih itu anak didik yang tidak berdaya menurut kodratnya itu menaruh (mencurahkan kepercayaannya), yang karena kemurniaannya menjadi pendorong dan pemberi semangat bagi pendidik untuk melakukan  tugsnya serta memeberi kepadanya keyakinan akan kesanggupan diri sendiri.
Anak sudah memiliki kontak dengan orang tua tetapi kontak itu  bukan melalui bahasa, melainkan melalui perasaan. Pemebentukan tingkah laku anak bukan hanya dengan pendidikan, melainkan dengan pembiasaan. Pembiasaan adalah pembentukan tingkah laku pada anak, dengan usaha menguasai insting anak, misalnya melatih anak supaya bangun pagi-pagi, dengan jalan membangunkannya setiap pagi.
Di dalam arti luas, pendidikan itu  mencakup tindakan diatas, tetapi dalam arti sempit, pendidikan baru dimulai setelah anak menghayati kewibawaan pendidik, seperti dikatakan oleh Langeveld dalam buku Sadulloh (2010, hlm.168), bahwa “pendidikan itu baru dapat dimulai, apabila anak sudah mengakui atau menghayati kewibawaan orang tua atau pendidiknya, dan anak dapat mengakui kewibawaan pendidiknya, apabila anak sudah memahami (mengerti) bahasa. Anak baru dipandang mengerti bahasa apabila anak sudah berumur 3 tahun.”
Karena itulah Langeveld berpendapat, bahwa pendidikan anak yang sesungguhnya baru dimulai pada umur 3 tahun. Kalau ada usaha pendidikan yang dimulai atau diberikan sebelum anak berusia 3 tahun, ini disebutnya dengan pendidikan pendahuluan. Dalam pendidikan pendahuluan ini, karena anak belum mengenal dan mengakui kewibawaan, maka boleh menggunakan rasa takut, atau peringatan, agar anak mau menuruti apa yang dikehendaki atau yang dilarang oleh pendidik.
Seperti telah dikemukakan bahwa, anak yang masih kecil belum dapata dikatakan memilki sifat penurut. Yang terjadi dengan mereka itu ialah “ketularan”. Mereka melakukan sesuatu karena takut akan “muka marah” ayah atau ibu, yang berarti penjauhan diri oleh ayah atau ibu. Hal demikian menyinggung sesuatu yang amat halus pada si anak, ketergantungannya dan keinginannya akan keselamatan terganggu, sekurang-kurangnya ia merasa terancam akan terlepas dari lingkungan kasih saying orang tua, yang menuru pengalamannya melindungi dirinya selama ini. Oleh karena itu, pada saat belum adanya penyadaran hubungan kewibawaan dalam arti anak belum bisa menerima kewibawaan pendidik, upaya pembiasaan dan kekuatan (dresser) dapat dilakukan terhadap diri anak.
3.      Kewibawaan dan Penerimaan Norma oleh Anak
Kalau anak sudah dapat mengakui kewibawaan pendidik, maka dapatlah dimulai pendidikan yang sesungguhnya, anak mulai dapat dikenalkan dengan norma yang sesungguhnya. Anak bukan sekedar harus berbuat yang sesuai dengan norma secara paksa tanpa mengetahui normanya, melainkan norma itu sendirilah yang diperkenalkan kepada anak didik. Kepada anak diperkenalkan mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan yang buruk, dengan contoh larangan, nasihat, dongeng, teladan, dan lain-lain.
            Agar anak mengikuti norma tertentu, maka pendidikanlah yang harus pertama kali menjadi perwujudan dakam dirinya dari norma tersebut. Apabila pendidik menginginkan anak didiknya bangun pagi-pagi, maka pendidikan harus punya kebiasaan bangun pagi pula, sebab anak itu sifatnya suka meniru, terlebih-lebih meniru tingkah laku tokoh yang, menjadi idolanya, atau siapa yang menjadi pujaannya.
            Untuk mendidik anak harus dimulai dari pendidik itu sendiri (ibdabinafsika), untuk mengajarkan pengetahuan, pendidik harus terlebih dahulu berpengetahuan, untuk mendidik moral/hati pendidik terlebih dahulu harus bermoral dan berhati nurani. Bagi pendidik harus ada kesesuaian antara kata dan perbuatan, seperti firman Allah: Hai orang-orang yang beriman mengapa kamu katakan sesuatu padahalkamu tidak melakukannya, besar sekali murka disisi Allah bagi orang yang mengatakan sesuatu padahal ia sendiri tidak melakukannya (QS. As-Shaf: 2-3)
            Sifat anak didik menghadapi norma juga terpengaruh oleh hadir tidaknya pendidik. Misalnya pendidik (orang tua) memberi peraturan, siang harus tidur. Jika pendidik ada di rumah, maka anak akan tidur siang, tetapi jika pendidik tidak berada di rumah, anak tentu tidak tidur, dan akan bermain-main. Namun gejala semacam ini  lama kelamaan akan hilang, sesuai dengan bertambahnya umur anak. Semakin dewasa anak, maka subyektivitasnya juga semakin berubah menjadi obyektivitas, artinya anak akan menjalankan dna patuh kepada norma yang diajarkannya, dengan hadir atau tidaknya pendidik.
            Sehubungan dengan penerima norma itu, kiranya perlu di paparkan bagaimana proses penerimaan norma itu oleh anak. Sadulloh (2011, hlm. 170) menyatakan bahwa tahap-tahap proses penerimaan norma adalah, sebagai berikut:
a.       Anak menghadapi pendidik sebagai pendukung norma tertentu, yang selalu dilihatnya melaksanakan norma itu. Pada mulanya anak berpikir, tindakan itu baik, karena dilakukan oleh pendidiknya, dan tindakan itu adalah tindak baik, karena dilarang oleh pendidik.
b.      Anak kemudian mengerti bahwa tindakan-tindakan itu atau tingkah laku pendidiknya itu diatur oleh sesuatu yang disebut norma.
c.       Setelah anak dapat melihat norma terlepas dari si pendukung norma, maka tindakan atau tingkah laku pendidik sebagai pendukung norma, selalu dibandingkan dengan norma yang diketahui anak, juga dengan peraturan atau norma  yang dikatakan oleh pendidiknya itu.
d.      Bila ternyata pendidik mempunyai tingkah laku yang cocok dengan norma yang dikemukakan atau dinasihatkan, maka anak kan merima norma itu dengan sukarela.
Tetapi bila anak didik tahu bahwa tindakan atau perbutan pendidik itu tidak cocok bahkan tindakan atau perbuatan pendidik itu tidak cocok atau bahkan bertentangan dengan norma yang dinasehatkan, maka anak didik akan menolaknya, dan tidak akan melaksanakan norma itu.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perkembangan kewibawaan anak didik ditandai dengan tumbuhnya kepercayaan. Dimana hal ini merupakan syarat teknik pergaulan yang juga merupakan model kewibawaan dalam berbagai lingkungan. Dalam lingkungan pendidikan, menurut Sadulloh (2011, hlm. 170)  menyatakan bahwa kepercayaan yang diberikan oleh pendidik kepada anak didik mempunyai dua arti:
1)      Bahwa keinginan pendidik untuk terus mengikat pribadi anak didik pada dirinya telah dapat diatasi oleh pendidik.
2)      Bahwa kepercayaan itu merupakan tempat sumber bagi anak didik untuk tumbuh dan berkembang.
Kepercayaan merupakan sumber bagi anak didik untuk tumbuh dan berkembang. Artinya anak didik mendapatkan kepercayaan itu harus dapat berdiri sendiri, karena pendidik yakin bahwa ia dapat berdiri sendiri. Kepercayaan itu memberikan dorongan  kepada anak didik agar ia berani dan penuh keyakinan dan keinginan berusaha supaya ia menjadi dewasa.
4.      Mempertahankan Kewibawaan
            Pendidik harus mempertahankan kewibawaan yang dimilikinya, sehingga kewibawaan tersebut harus dipelihara dan dibinany. Langeveld dalam buku Sadulloh (2010, hm.171) mengemukakan bahwa “ada tiga sendi kewibawaan untuk memeliharanya , yaitu : kepercayaan, kasih sayang, dan kemampuan mendidik.”
            Dalam hal kepercayaan, pendidik harus percaya bahwa dirinya bisa dan mampu mendidik dan juga harus percaya bahwa anak didik dapat dididik. Kasih sayang mengandung dua makna, yakni penyerahan diri kepada yang dikasih sayangi dan pengendalian terhadap yang disayangi. Dengan penyerahan diri, pada pendidik timbul kesediaan untuk berkorban berupa pengabdian dalam bekerja. Pengendalian terhadap yang disayangi bertujuan agar anak didik tidak dapat berbuat sesuatu yang merugikan dirinya. Kemampuan mendidik dapat dikembangkan melalui beberapa cara, diantaranya pengkajian terhadap ilmu pengetahuan khususnya ilmu pendidikan, mengambil manfaat dari pengalaman kerja, dan lain-lain. Bagi guru menguasai bahan/materi merupakan suatu keharusan untuk mempertahankan kewibawaan.
            Selain ketiga hal diatas, Sadulloh (2011, hlm. 171) menyatakan bahwa dalam mempertahankan kewibawaan tersebut perlu didukung oleh keadaan batin pemilik kewibawaan (orang dewasa: orang tua, guru dan yang lainnya), yaitu:
a.       Adanya rasa cinta: Kewibawaan itu dapat dimiliki oleh seseorang, apabila hidupnya penuh kecintaan dengan atau kepada orang lain.
b.      Adanya rasa demi kamu: Demi kamu atau you attitude, adalah sikap yang dapat dilakukan sebagai suatu tindakan, perintah atau anjuran bukan untuk kepentingan orang yang memerintah, tetapi untuk kepentingan orang yang diperinta, menganjurkan demi orang yang menerima anjuran, melarang juga demi orang dilarang.
Misalnya seorang guru yang memerintahkan agar anak didik belajar keras dalam menghadapi ujian, bukan agar dirinya mendapat nama karena anak didiknya banyak yang lulus, melainkan agar anak didik mendapatkan nilai yang bagus dan mudah untuk meneruskan sekolahnya.
c.       Adanya kelebihan batin: Seorang guru yang menguasai bidang studi yang menjadi tanggung jawabnya, bisa berlaku adil dan obyektif, bijaksana, merupakan contoh-contoh yang dapat menimbulkan kewibawaan batin.
d.      Adanya ketaatannya kepada norma: Menunjukan bahwa dalam tingkah lakunya dia sebagai pendukung norma yang sungguh-sungguh selalu menepati janji yang pernah dibuat, disiplin dalam hal-hal yang telah digariskan.
            Selanjutnya Sadulloh (2011, hlm. 172) mengemukakan bahwa dalam melaksanakan kewibawaan, pendidik hendaknya memperhatikan beberapa faktor berikut:
a.       Perkembangan anak sebagai pribadi. Pendidik hendaknya mengabdi kepada perkembangan anak, mengembangkan seluruh pribadi anak, intelektualnya, emosinya, dan spiritualnya. Anak yang seluruh potensi dan kemampuannya berkembang secara optimal akan menjadikan anak tersebut sebagai manusia mandiri.
b.      Pendidik memberi kesempatan pada anak untuk berinisiatif, anak melakukan kegiatan atas inisiatif sendiri. Makin berkembang anak, memberi inisiatif padanya makin besar dan luas, dan akhirnya diharapkan segala perbuatannya atas dasar inisiatif sendiri, bukan atas perintah orang lain, dalam hal ini pendidik. Anak harus diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk melatih diri bersikap patuh, sehingga kepatuhan anak terhadap peraturan akan didasarkan atas pertimbangan nuraninya sendiri, tidak karena paksaan atau pengaruh oranglain.
c.       Kewibawaan dilaksanakan atas dasar kasih sayang pada anak. Pendidik berbuat sesuatu demi kepentingan anak didik, mengabdi kepada anak didik, bukan untuk kepentingan pendidik.
5.      Mengurangi Kewibawaan dalam Pendidikan
            Pendidik lama kelamaan harus mengurangi kewibawaannya, hal ini berarti, bahwa semakin lama anak harus diberi kesempatan untuk berdiri sendiri. Anak harus semakin diberi kesempatan mengambil keputusan atas tanggung jawabnya sendiri. Pada akhirnya, bila anak sudah dewasa, kewibawaan pendidik harus sudah dihilangkan sama sekali. Jika tidak demikian, justru dapat timbul konflik antara pendidik dan anak didik, sebab yang sudah dewasa itu akan merasa diinjak kedewasaannya, merasa dilanggar pribadinya.
            Kewibawaan yang dimiliki pendidik, pada suatu saat akan mengalami masa-masa krisis, kadang tampak melemah, tampak goyah. Maka, menjadi tugas pendidik sendiri untuk tetap menegakkan kewibawaannya yang dimilikinya itu. Sadulloh (2011, hlm. 173) menyatakan bahwa agar kewibawaannya yang dimiliki oleh pendidik tidak goyah, tidak melemah, maka hendaknya pendidik itu selalu:
a.       Bersedia memberi alasan.
Pendidik harus siap dengan alasan yang mudah diterima anak didik supaya berlaku begini, mengapa pendidik melarang anak didik, mengapa pendidik memberikan nasihat begitu, penjelasan hendaknya singkat dan dapat diterima anak dengan jelas, menggunakan bahasa yang sesuai dengan perkembangan anak. Dengan adanya kejelasan ini, akan membuat anak didik menerima semuanya penuh dengan kerelaan dan kesadaran.
b.      Bersikap demi kamu (You Attitude).
Pendidik selalu harus menunjukkan sikap demi kamu (you attitude). Sikap ini tidak perlu ditonjolkan, tetapi harus dengan jelas nampak kepada anak, atau mudah diketahui oleh anak. Pendidik menuntut anak didik, menasihati, melarang memerintah berbuat itu, semuanya demi anak didik sendiri bukan untuk kepentingan pendidik.
c.       Bersikap sabar.
Pendidik harus selalu bersikap sabar, memberi tenggang waktu kepada anak didik untuk mau menerima perintah dan nasihat yang diberikan oleh pendidik. Mungkin pendidik harus memberikan nasihatnya berkali-kali kepada seorang anak, pendidik dituntut kesabarannya sungguh-sungguh, tidak boleh lekas putus asa. Putus asa adalah sikap yang salah.
d.      Bersikap memberi kesabaran.
Semakin bertambah umur anak didik, atau semakin menuju dewasa, pendidik hendaknya semakin memberi kebebasan, memberi kesempatan kepada anak didik, agar belajar berdiri sendiri, belajar bertanggung jawab, dan belajar mengambil keputusan, sehingga pada akhirnya anak tidak lagi memerlukan nasihat dalam kewibawaan melainkan anak diberi kebebasan untuk memilih mana yang paling baik sesuai dengan pilihan hati nuraninya, pada saat itulah anak mencapai kedewasaannya, dan pada saat itu pulalah kewibawaan pendidik berakhir.
C.    Tanggung Jawab
            Manusia adalah makhluk yang mempunyai tanggung jawab dan kewajiban. Setiap manusia mempunyai tanggung jawab terhadap orang lain terutama terhadap orang-orang yang berada di bawah kekuasaannya.
1.      Pengertian Tanggung Jawab
Dalam pergaulan sehari-hari bertanggung jawab pada umumnya diartikan sebagai “berani menanggung resiko (akibat) dari suatu tindakan/perbuatan yang di lakukan”. Atau sering pula diartikan sebagai berani mengakui suatu perbuatan/tindakan yang telah dilakukan. Pengertian tanggung jawab tersebut belum cukup, karena yang bersangkutan tidak pernah memikirkan apakah perbuatan/tindakannya sesuai dengan nilai-nilai susila yang berlaku dalam kehidupan bersama manusia yang sopan dan beradab.
Untuk memperjelas pengertian bertanggung jawab, mari kita ikuti contoh cerita berikut ini. Seseorang tanpa sebab apapun tiba-tiba melempari kaca-kaca tetangganya hingga hancur berantakan. Penghuni rumah tersebut segera keluar dan memanggil si pelaku pelemparan. Sipelakupun segera menghampiri sipenghuni rumah tersebut dan berkata bahwa dialah yang melempari kaca-kaca jendela tadi serta berani menanggung resiko segala perbuatannya baik jika dilaporkan kepada polisi atau diharuskan mengganti kerugian kaca-kaca yang pecah tadi, dan semuanya akan ia lakukan. Apakah perbuatan semacam itu merupakan suatu pernyataan dari bertanggung jawab? Seandainya perbuatan dari melempari kaca-kaca jendela tadi dilandasi oleh alasan tertentu, misalnya sipenghuni rumah suka menghina, apakah perbuatan tersebut dapat digolongkan perbuatan dengan penuh tanggung jawab? Untuk dapat menggolongkan tindakan atau perbuatan ke dalam tindakan yang bertanggung jawab atau bukan, terlebih dahulu harus menentukan apa pengertian “ bertanggung jawab” itu.
Sadulloh (2011, hlm. 176) mengemukakan bahwa “bertanggung jawab dimaksudkan sebagai suatu keadaan dimana semua perbuatan atau tindakan atau sikap merupakan penjelmaan dari nilai-nilai moral serta nila-nilai luhur kesusilaan dan atau keagamaan.” Bisa juga dikatakan bahwa bertanggung jawab berarti dapat di dakwa berdasarkan nilai-nilai moral dan susila maupun nilai agama. Dengan kata lain bertanggung jawab berarti berada dalam tatanan norma,nilai kesusilaa, dan agam dan tidak diluarnya. Segala tindakan ,perbuatan atau sikap yang berada di luar bidang nilai atau norma kesusilaan dan agama tidak dapat di pertanggung jawabkan.
Dari contoh diatas, bahwa seseorang yang bertanggung jawab tidak akan melakukan tindakan atau perbuatan atau sikap yang bertentangan atau melanggar nilai-nilai susila maupun agama.
2.      Tindakan yang Berkaitan dengan Bertanggung Jawab
Di kelas seorang guru harus seorang yang bertanggung jawab. Seorang guru harus bertanggung jawab terhadap tugasnya sebagai guru, yaitu mendidik dan mengajar anak-anak yang telah di percayakan orang tua anak kepadanya. Sekarang sudah ada Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen yang merupakan suatu landasan moral bagi guru untuk menjalankan tugasnya secara professional. Oleh karena itu guru yang bertanggung jawab senantiasa akan berbuat dan bertindak tidak keluar dari undang-undang tersebut.
3.      Tanggung Jawab dalam Pendidikan
Dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang System Pendidikan Nasional disebutkan bahwa tujuan pendidikan adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Di sekolah guru merupakan pendidik yang bertanggung jawab dalam membimbing anak didik untuk mencapai tujuan pendidikan. Bagian akhir dari tujuan pendidikan nasional adalah warga negara yang bertanggung jawab. Dalam melaksanakan tanggung jawabnya, manusia dapat dilihat dari dua aspek,yaitu: 1). Manusia sebagai makhluk tuhan 2). Manusia dalam hubungannya dengan sesame manusia dan alam.
a.       Manusia Sebagai Makhluk Tuhan
Manusia sebagai makhluk Tuhan berkewajiban untuk melaksanakan segala perintah-Nya dan segala larangan-Nya. Dalam ajaran islam ada tiga inti ajaran islam, yaitu : Iman, Islam, dan Ihsan. Dalam hal ini Allah telah memberi petunjuk melalui Al-Qur’an san Sunnah ,bagaimana manusia harus beriman (ingat rukun iman), bagaimana manusia harus menjalankan syariat islam (ingat rukun islam) dan bagaimana manusia harus berbuat baik ,dalam berbuat baik kepada Allah, kepada sesame manusia, maupun berbuat baik kepada makhluk lain (misalnya hewan), serta berbuat baik kepada alam dan lingkungannya, manusia sama sekali tidak boleh merusak alam (menjarah hutan, merusak keseimbangan kehidupan).
Menurut akal dan dan agama,manusia wajib mengertahui mengenal dan mengetahui pencipta alam, yang merupakan pemilik dan pemberi kenikmatan kepada seluruh makhluk dan tunduk serta beribadah kepada-Nya. Manusia wajib tunduk dan menerima perintah-perintah-Nya yang di turunkan dengan perantaraan nabi, dan mengamalkannya dalam kehidupannya. Tanggung jwab manusia terhadap Tuhannya, yakni menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu.
Seorang mukmin mempunyai tujuh kewajiban yang harus dilaksanakan atas mukmin lainnya dan jika salah satu dari kewajiban tersebut diabaikan, maka dia telah keluar dari kepemimpinan Allah ,sudah tidak taat lagi kepada-Nya dan tidak lagi memiliki bagian dari kepemimpinan Allah. Ketujuh kewajiban tersebut adalah:
1.      Apa yang engkau sukai untuk dirimu, maka engkau juga harus sukai bagi saudaramu dan apa yang engkau benci untuk dirimu maka engkau juga harus benci untuknya.
2.      Engkau harus membantunya dengan diri,harta,lidah,tangan dan kakimu.
3.      Mengikuti keinginannya, menghindari kemarahannya, dan menuruti perintahnya.
4.      Menjadi mata,petunjuk dan cermin baginya.
5.      Jangan engkau kenyang sementara dia kelaparan atau kehausan, dan jangan engkau berpakain sementara dia telanjang.
6.      Jika kamu punya pembantu sementara dia tidak, maka kamu kirim pembantumu supaya mencucikan pakainnya, memasakan makanannya,dan menghamparkan permandiannya.
7.      Membenarkan kesaksiannya, memenuhi undangannya, menjenguknya manakala sakit, dan mengurusi jenazahnya. Jika ia mempunyai keperluan ,maka segeralah ,memenuhinya dan jangan paksa ia sampai meminta-minta darimu.
Seorang guru sebagai pendidik di sekolah sudah seharusnya memahami nilai-nilai/norma-norma agama dan sekaligus sudah dapat melaksanakannya dalam segala aspek kehidupannya.
b.      Manusia dalam Hubungannya dengan Sesama Manusia dan Alam
Manusia mempunyai kecenderungan kepada masyarakat dan kehidupan sosial. Kehidupan sosial manusia memiliki sebuah bentuk hubungan khusus, dia tidak akan dapat memenuhi segala kebutuhannya dengan tanpa kerja sama dan keikutsertaan yang lain. Berbagai aktivitas manusia memiliki esensi sosial ,dan oleh karena itu mau tidak mau mereka harus membagi pekerjaan diantara mereka. Sehingga dengan begitu mereka dapat memberikan manfaat kepada yang lain dan sekaligus mengambil manfaat dari mereka. Berkaitan dengan hak dan kewajiban, tercermin manusia berbagai tanggung jawab manusia seperti :
1.      Tanggung jawab manusia terhadap keluarga
Allah SWT telah berfirman didalam Al-Qur’an, “Wahai orang-orang yang beriman, perihalah dirimu dan keluagamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan baku penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa-apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya (Q.S. At-Tahrim : 60). Rasullah saw telah bersabda ,” Sebaik-baiknya kamu ialah orang yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah orang yang paling baik terhadap keluargannya”.
2.      Tanggung jawab terhadap sanak kerabat
Rasulullah saw bersabda “aku berpesan kepada umatku baik yang hadir maupun yang tidak hadir, maupun mereka yang kini masih berada dalam tulang suylbi atau rahim ibu mereka hingga hari kiamat, hendaklah mereka menjalin silaturahmi dengan sanak kerabat mereka karena silaturahmi merupakan bagian dari agama”.
3.      Tanggung jawab terhadap tetangga
Rasulullah saw telah bersabda “ Siapa yang menghianati tetangganya meskipun hanya sejengkal tanah maka Allah akan jadikan tanah itu hingga tingkat ketujuhnya sebagai tali pelana dilehernya hingga Allah menghinakannya pada hari kiamat, kecuali jika ia bertobat. Siapa saja yang menyakiti tetanggnya maka Allah haramkan wangi surga baginya dan tempatnya adalah neraka Jahannam dan itulah seburuk-buruknya tempat”.
4.      Tanggung jawab terhadap ayah dan ibu
Allah SWT telah berfirman didalam Al-Qur’an “ Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka janganlah sekali kali kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentuk mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya sebagaimana mereka telah mendidik aku waktu kecil”. (Q.S.Al-Isra :23-24).
5.      Tanggung jawab terhadap anak
Kebaikan dan keburukan anak di dunia ini akan dikaitkan dengan orang tuanya. Engkau juga berkewajiban membantunya dalam masalah akhlak yang baik ,mengenal Allah dan ketaatan kepada-Nya. Maka berkenaan dengan anak hendaklah engkau seperti orang yang yakin akan mendapat pahala jika berbuat kebajikan kepadanya dan mendapat siksa jika berbuat jelek kepadanya.
Selain itu masih terdapat berpuluh-puluh tanggung jawab social lainnya, seperti tanggung jawab pemerintah terhadap rakyat dan tanggung jawab rakyat terhadap pemerintah, tanggung jawab orang kaya terhadap orang miskin dan tanggung jawab orang miskin terhadap orang kaya, tanggung jawab ulama terhadap masyarakat dan tanggung jawab masyarakat terhadap ulama, tanggung jawab atasan terhadap bawahan dan tanggung jawab bawahan terhadap atasan, tanggung jawab yang tua terhadap anak-anak dan para muda dan sebaliknya, tanggung jawab diantara teman, tanggung jawab kaum muslimin, tanggung jawab terhadap anak yatim dan para janda, tanggung jawab terhadap orang-orang cacat dan para lansia dan tanggung jawab guru terhadap murid dan tanggung jawab murid terhadap guru.
6.      Tanggung jawab manusia terhadap alam
Manusia di takdirkan oleh Allah sebagai Khalifah dimuka bumi. Sebagai khalifah manusia harus mampu mengelola alam khususnya bumi dimana manusia tinggal. Allah swt… telsh menciptsksn slsm ini dsn memberiksn kemampuan kepada manusia untuk menyingkap berbagai rahasia alam, dan memanfaatkannya untuk membangun alam dan kehidupan yang lebih baik.
Allah swt. telah menciptakan langit dan bumi dan segala sesuatu yang ada padanya, seperti gunung ,sungai dan berbagai macam bahan tambang dan benda logam, berbagai jenis pohon dan tumbuhan ,dan berbagai jenis binatang daratan maupun lautan, baik yang jinak maupun yang luas untuk di manfaatkan oleh manusia, Allah swt. telah menciptakan alam semesta dengan susunan yang sangat teliti.
Hal tersebut merupakan tanggung jawab yang besar pada pundak manusia. Oleh karena itu, manusia harus menghargai nikmat Allah dan menggunakannya pada tempatnya. Seandainya manusia tidak memeliharanya, tidak menjaga system lingkungan akan timbul bencana bagi kehidupan manusia itu sendiri dan segala bencana itu merupakan peringatan dari Allah kepada manusia.


BAB III
PENUTUP
  1. KESIMPULAN
Kasih Sayang, Kewibawaan, dan Tanggung Jawab Pendidikan, merupakan ruh dari pendidikan, tidak dapat di pisahkan satu sama lainya . ketiga hal tersebut dapat dikatakan merupakan prasyarat dalam melaksanakan pendidikan. Pada praktiknya, ternyata menerapkan kasih sayang, kewibawaan, dan tanggung jawab dalam proses pendidikan tidak mudah, banyak hambatan dan kendala yang dihadapi pendidik, baik berkaitan dengan pemahaman maupun kemampuan pendidik.
  1. SARAN
Kita sebagai calon pendidik hendaknya mempunyai rasa kasih sayang karena tanpa kasih sayanag anak akan berkembang menurut kemauanya sendiri, maka dari itu seorang calon pendidik harus mempunyai rasa kasih sayang terhadap anak didiknya. Seorang guru harus memilki kewibawaan tapa kewibawaan pendidik akan kehilangan kepercayaan dari anak didiknya. Seorang pendidik harus memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap tugasnya sebagi guru yaitu mendidik dan mengajar anak-anak yang telah dipercayakan orang tua anak kepadanya.
Daftar Pustaka
Sadulloh, Uyoh. (2011). Pedagogik (Ilmu Mendidik). Bandung: ALFABETA